Ustadz Muhammad Arifin Ilham |
(Arrahmah.com) - Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Jazakumullah, al ‘ulama al ahibbaa’ fillah..
Arifin mohon maaf lahir batin.
Ikhwah fillah
Persoalan terbesar bagi umat Islam saat ini yang mengalami kekalahan di semua lini, politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, bahkan semua aspek kehidupan karena umat Islam telah meninggalkan Islam, meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah, dan sampai puncaknya adalah krisis ukhuwah. Bukan hanya bagi umat Islam, bahkan bagi ulamanya sendiri.
Ikhwah fillah
Kenapa kita tidak punya haibah? prestise di dunia, di negeri sendiri? Pada lingkungan kita sendiri kita tidak punya haibah, karena kita tidak punya al-quwwah, kekuatan. Kenapa tidak punya al-quwwah? karena tidak punya wahdah, kita sejujurnya belum bersatu, tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta… (Al-Hasyr, 59: 14)
Kesannya saja, retorikanya kita bersatu, sebenarnya kita masih ingin eksis dengan jati diri masing-masing, mazhab masing-masing, pendapat, kelompok, organisasi masing-masing.
Kenapa kita gak punya wahdah? ya… karena kita mengalami yang disebut dengan ukhuwah, saling cinta karena Allah, saling tolong karena Allah, saling menghargai karena Allah, saling mendo’akan karena Allah, saling mendukung karena Allah, saling menutupi aib karena Allah.
Kadang tidak perlu duduk bersama, tapi hati bersama itu jauh lebih utama. Dan tentu jauh lebih afdhal duduk bersama dan hati kita bersama seperti shaf shalat berjama’ah.
Nah… kenapa tidak mengalami kekuatan ukhuwah itu? karena kita mengalami krisis iman. Allah, ridha-Nya, rahmat-Nya, ampunan-Nya, hidayah-Nya, berkah-Nya, Rasul-Nya, akhirat-Nya bukan menjadi tujuan dan orientasi dalam setiap aktifitas kita.
Maaf, mungkin ini terlalu kasar… Bahasanya agama, tapi hatinya dunia,
…وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ…
(Ali ‘Imran, 3: 152)
Kelumpuhan terjadi bagi umat Islam dan terutama para juru dakwah adalah karena mereka lebih melihat ghanimah ketimbang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ikhwah…
Kalau Allah dan Rasul dan akhirat menjadi tujuan dan orientasi dalam setiap harakah dakwah kita, maka kita akan mengedepankan, mengutamakan dakwah, itu yang menjadi skala prioritas, main goal, dalam semua aktifitas kita, dakwah, dakwah, dakwah, tanpa diundangpun dakwah. Kita menunggu undangan, baru dakwah.
Ulama yang terbaik itu ulama air hujan, yang menghujani siapa pun, minimal ulama mata air yang orang datang rindu kepadanya. Jangan jadi air pam, air pam itu kalau gak diundang, gak keluar dia, kalau gak dibayar gak keluar dia, gak tsiqah dalam dakwah, memilah milih dalam dakwah, akhirnya retorika-retorika saja, intinya dia mencari duit.
Ini ngamen ya ikhwah, atau menjadi juru dakwah air comberan, munafik, dia berbuat maksiat.
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
(Ash-Shaff, 61: 3)
Nah… dakwah kita utamakan, kita berkumpul karena kita mengutamakan dakwah, kita bisa bersama karena mengutamakan dakwah. Jadi benang tasbih walaupun bijiannya warna warni, kalau benangnya adalah dakwah, kita akan bisa bersama ya ikhwah.
Islam bisa berkembang karena dakwah, Rasul menyebarkan dakwah, lalu dilanjutkan para sahabat. Sahabat wafat, dilanjutkan tabi’ut tabiin, lalu salafus shalih. Dan kita bisa begini pun karena dakwah, maka dakwahlah utamakan.
Dimulai dakwah pada diri sendiri, fardiyah, ahliyah, keluarga kita, lalu sahabat-sahabat kita, lalu khususiah orang-orang penting, lalu ijtima’iyah, tabligh, ta’lim, kemudian ‘umumiyah, siapapun didakwahi tanpa merasa paling suci.
Kemudian kalau dakwah yang menjadi prioritas, maka yang kedua adalah ukhuwah. Nah… buahnya dari orientasi dakwah itu ukhuwah. Banyak kita berbeda paham dengan kawan-kawan.
Misalnya Arifin, ada yang membid’ahkan zikir, Arifin sayang kepada kawan-kawan yang membid’ahkan zikir. Tidak ada masalah, tidak penting perbedaan itu, yang penting ukhuwahnya, yang penting dakwahnya.
Hanya karena perbedaan qunut… Ndak penting perbedaan itu, yang penting dakwahnya, ukhuwahnya, ndak penting zikir berjama’ah itu, yang penting ummat itu bertaubat dan sebagainya, itu yang penting.
Jadi hal-hal yang kecil yang masih persoalan furu’iyah bukan ushuliyah, kecuali yang sudah difatwakan jelas, bayan, clear, oleh Majelis Ulama Indonesia. Ada yang kita bersama, ada yang tidak bisa kita bersama.
Kemudian yang ketiga.. kalau sudah dakwah yang menjadi prioritas maka ukhuwah. Kalau “iyyaka na’budu wa iyyaka nast’ain” kalau Allah menjadi tujuan kita “na’budu”, kami beribadah bersama, kami mohon pertolongan kepada Allah, kami.. bukan aku.. kami… ‘aku’, ‘kamu’.. lebur menjadi ‘kami’. “shaffan ka annahum bunyaanun marshush” (Ash-Shaff, 61: 4).
Nah, kemudian yang ketiga: maslahah. Kalau sudah ukhuwah, maka ke-maslahah-nya yang dikedepankan. Maslahahnya apa?
Kita di samping masjid Az-Zikra ada mushalla yang berbeda, yang mereka tidak sependapat dengan speaker (aspek) anti-speaker. Mushallanya hancur, bocor, kita bangunkan. Subhanallah… gak ada masalah speaker nggak speaker, maslahahnya untuk ummat biar bisa shalat di mushalla itu. Ya… Allah… ini kemaslahahan yang harus dikedepankan setelah ukhuwah dan prioritas dakwah.
Maka Arifin bahagia sekali, walaupun keadaan hanya bisa melewati ini, tapi Arifin menyayangi semua, ayah, ikhwah fillah, kawan-kawan, juru-juru dakwah.
Ini saatnya bukan lagi retorika-retorikaan, bukan main-main lagi dakwah, bukan lagi eksis-eksis sendirian lagi, ndak perlu lagilah dengan ge-er dengan pujian, ndak perlu lagi sakit hati dengan hinaan.
Saatnya kita menjadi teladan bagi ummat, jadi mata air, jadi cahaya, apa yang di hati itu yang difikirkan, apa yang difikirkan itu yang diucapkan, apa yang diucapkan itu diamalkan, istiqamah, tsiqah, lahir batin ta’at kepada Allah jalla jalaluhu, figur teladan bagi ummat, tidak main-main, tidak lagi menjual-jual, main-main kata, penuh dengan gaya-gaya.
Tidak perlu lagi takut dengan caci maki, hinaan, gosip. Dakwah liyuhiqqal haqqa wayubthilal bathila walau karihal mujrimun… (Al-Anfaal, 8: 8). Keniscayaan akan dicaci maki oleh orang mujrimun itu.
Fitnah itu memang menyakitkan, kotoran, tapi bagi orang beriman dia bisa olah menjadi pupuk yang menyenangkan, pupuk yang menyuburkan keimanannya.
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
(Al Furqan, 25: 63)
Ketahuilah ya ikhwah, yang paling pantas berdakwah itu siapa? Hamba Allah yang istiqamah, yang tidak main-main dengan kata-katanya, bukannya surat Fushshilat (menerangkan),
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا…
(Fushshilat, 41: 30)
Lihat setelah itu,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
(Fushshilat, 41: 33)
Mereka yang istiqamah lalu mereka berdakwah,
Ikhwah, al lughah al madzuqah, bahasa itu rasa, ummat itu bisa merasakan mana main-main kata, mana yang serius dalam berdakwah, mana yang istiqamah, mana yang dalam setiap kata-katanya yang benar-benar tulus mencintai ummat.
Maaf ikhwah, kalau Arifin menyampaikan ini. Inilah keadaan sekarang, mudah-mudahan Arifin dan semua ikhwah, Allah bersamakan dalam ridha-Nya, dalam rahmat-Nya, dalam ampunan-Nya, dan hidayah-Nya, dalam berkah-Nya, dalam harakah dakwah-Nya. Kita bersama walaupun tidak harus duduk kita bersama, suatu saat kita duduk bersama lalu kita bersama-sama.
Puncak perjuangan kita adalah tegaknya syari’at Allah di negeri yang kita cintai ini dan tegaknya khilafah Islamiyah.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتْوبُ إِلَيْكَ
Banyak salah Arifin, uhibbukum fillah.
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
(Ukasyah Jum'at, 19 Ramadhan 1434 H / 26 Juli 2013 21:58)
(Ukasyah/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/kajian-islam/ustadz-muhammad-arifin-ilham-nasihat-untuk-sahabatku-para-dai.html#sthash.8pdJCIhe.jP9uiUJz.dpuf
Ustadz Muhammad Arifin Ilham: "Nasihat untuk sahabatku para Da'i"
Jum'at, 19 Ramadhan 1434 H / 26 Juli 2013 21:58
(Arrahmah.com) - Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Jazakumullah, al ‘ulama al ahibbaa’ fillah..
Arifin mohon maaf lahir batin.
Ikhwah fillah
Persoalan terbesar bagi umat Islam saat ini yang mengalami kekalahan di semua lini, politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, bahkan semua aspek kehidupan karena umat Islam telah meninggalkan Islam, meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah, dan sampai puncaknya adalah krisis ukhuwah. Bukan hanya bagi umat Islam, bahkan bagi ulamanya sendiri.
Ikhwah fillah
Kenapa kita tidak punya haibah? prestise di dunia, di negeri sendiri? Pada lingkungan kita sendiri kita tidak punya haibah, karena kita tidak punya al-quwwah, kekuatan. Kenapa tidak punya al-quwwah? karena tidak punya wahdah, kita sejujurnya belum bersatu, tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta… (Al-Hasyr, 59: 14)
Kesannya saja, retorikanya kita bersatu, sebenarnya kita masih ingin eksis dengan jati diri masing-masing, mazhab masing-masing, pendapat, kelompok, organisasi masing-masing.
Kenapa kita gak punya wahdah? ya… karena kita mengalami yang disebut dengan ukhuwah, saling cinta karena Allah, saling tolong karena Allah, saling menghargai karena Allah, saling mendo’akan karena Allah, saling mendukung karena Allah, saling menutupi aib karena Allah.
Kadang tidak perlu duduk bersama, tapi hati bersama itu jauh lebih utama. Dan tentu jauh lebih afdhal duduk bersama dan hati kita bersama seperti shaf shalat berjama’ah.
Nah… kenapa tidak mengalami kekuatan ukhuwah itu? karena kita mengalami krisis iman. Allah, ridha-Nya, rahmat-Nya, ampunan-Nya, hidayah-Nya, berkah-Nya, Rasul-Nya, akhirat-Nya bukan menjadi tujuan dan orientasi dalam setiap aktifitas kita.
Maaf, mungkin ini terlalu kasar… Bahasanya agama, tapi hatinya dunia,
Kelumpuhan terjadi bagi umat Islam dan terutama para juru dakwah adalah karena mereka lebih melihat ghanimah ketimbang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ikhwah…
Kalau Allah dan Rasul dan akhirat menjadi tujuan dan orientasi dalam setiap harakah dakwah kita, maka kita akan mengedepankan, mengutamakan dakwah, itu yang menjadi skala prioritas, main goal, dalam semua aktifitas kita, dakwah, dakwah, dakwah, tanpa diundangpun dakwah. Kita menunggu undangan, baru dakwah.
Ulama yang terbaik itu ulama air hujan, yang menghujani siapa pun, minimal ulama mata air yang orang datang rindu kepadanya. Jangan jadi air pam, air pam itu kalau gak diundang, gak keluar dia, kalau gak dibayar gak keluar dia, gak tsiqah dalam dakwah, memilah milih dalam dakwah, akhirnya retorika-retorika saja, intinya dia mencari duit.
Ini ngamen ya ikhwah, atau menjadi juru dakwah air comberan, munafik, dia berbuat maksiat.
Nah… dakwah kita utamakan, kita berkumpul karena kita mengutamakan dakwah, kita bisa bersama karena mengutamakan dakwah. Jadi benang tasbih walaupun bijiannya warna warni, kalau benangnya adalah dakwah, kita akan bisa bersama ya ikhwah.
Islam bisa berkembang karena dakwah, Rasul menyebarkan dakwah, lalu dilanjutkan para sahabat. Sahabat wafat, dilanjutkan tabi’ut tabiin, lalu salafus shalih. Dan kita bisa begini pun karena dakwah, maka dakwahlah utamakan.
Dimulai dakwah pada diri sendiri, fardiyah, ahliyah, keluarga kita, lalu sahabat-sahabat kita, lalu khususiah orang-orang penting, lalu ijtima’iyah, tabligh, ta’lim, kemudian ‘umumiyah, siapapun didakwahi tanpa merasa paling suci.
Kemudian kalau dakwah yang menjadi prioritas, maka yang kedua adalah ukhuwah. Nah… buahnya dari orientasi dakwah itu ukhuwah. Banyak kita berbeda paham dengan kawan-kawan.
Misalnya Arifin, ada yang membid’ahkan zikir, Arifin sayang kepada kawan-kawan yang membid’ahkan zikir. Tidak ada masalah, tidak penting perbedaan itu, yang penting ukhuwahnya, yang penting dakwahnya.
Hanya karena perbedaan qunut… Ndak penting perbedaan itu, yang penting dakwahnya, ukhuwahnya, ndak penting zikir berjama’ah itu, yang penting ummat itu bertaubat dan sebagainya, itu yang penting.
Jadi hal-hal yang kecil yang masih persoalan furu’iyah bukan ushuliyah, kecuali yang sudah difatwakan jelas, bayan, clear, oleh Majelis Ulama Indonesia. Ada yang kita bersama, ada yang tidak bisa kita bersama.
Kemudian yang ketiga.. kalau sudah dakwah yang menjadi prioritas maka ukhuwah. Kalau “iyyaka na’budu wa iyyaka nast’ain” kalau Allah menjadi tujuan kita “na’budu”, kami beribadah bersama, kami mohon pertolongan kepada Allah, kami.. bukan aku.. kami… ‘aku’, ‘kamu’.. lebur menjadi ‘kami’. “shaffan ka annahum bunyaanun marshush” (Ash-Shaff, 61: 4).
Nah, kemudian yang ketiga: maslahah. Kalau sudah ukhuwah, maka ke-maslahah-nya yang dikedepankan. Maslahahnya apa?
Kita di samping masjid Az-Zikra ada mushalla yang berbeda, yang mereka tidak sependapat dengan speaker (aspek) anti-speaker. Mushallanya hancur, bocor, kita bangunkan. Subhanallah… gak ada masalah speaker nggak speaker, maslahahnya untuk ummat biar bisa shalat di mushalla itu. Ya… Allah… ini kemaslahahan yang harus dikedepankan setelah ukhuwah dan prioritas dakwah.
Maka Arifin bahagia sekali, walaupun keadaan hanya bisa melewati ini, tapi Arifin menyayangi semua, ayah, ikhwah fillah, kawan-kawan, juru-juru dakwah.
Ini saatnya bukan lagi retorika-retorikaan, bukan main-main lagi dakwah, bukan lagi eksis-eksis sendirian lagi, ndak perlu lagilah dengan ge-er dengan pujian, ndak perlu lagi sakit hati dengan hinaan.
Saatnya kita menjadi teladan bagi ummat, jadi mata air, jadi cahaya, apa yang di hati itu yang difikirkan, apa yang difikirkan itu yang diucapkan, apa yang diucapkan itu diamalkan, istiqamah, tsiqah, lahir batin ta’at kepada Allah jalla jalaluhu, figur teladan bagi ummat, tidak main-main, tidak lagi menjual-jual, main-main kata, penuh dengan gaya-gaya.
Tidak perlu lagi takut dengan caci maki, hinaan, gosip. Dakwah liyuhiqqal haqqa wayubthilal bathila walau karihal mujrimun… (Al-Anfaal, 8: 8). Keniscayaan akan dicaci maki oleh orang mujrimun itu.
Fitnah itu memang menyakitkan, kotoran, tapi bagi orang beriman dia bisa olah menjadi pupuk yang menyenangkan, pupuk yang menyuburkan keimanannya.
Ketahuilah ya ikhwah, yang paling pantas berdakwah itu siapa? Hamba Allah yang istiqamah, yang tidak main-main dengan kata-katanya, bukannya surat Fushshilat (menerangkan),
Lihat setelah itu,
Mereka yang istiqamah lalu mereka berdakwah,
Ikhwah, al lughah al madzuqah, bahasa itu rasa, ummat itu bisa merasakan mana main-main kata, mana yang serius dalam berdakwah, mana yang istiqamah, mana yang dalam setiap kata-katanya yang benar-benar tulus mencintai ummat.
Maaf ikhwah, kalau Arifin menyampaikan ini. Inilah keadaan sekarang, mudah-mudahan Arifin dan semua ikhwah, Allah bersamakan dalam ridha-Nya, dalam rahmat-Nya, dalam ampunan-Nya, dan hidayah-Nya, dalam berkah-Nya, dalam harakah dakwah-Nya. Kita bersama walaupun tidak harus duduk kita bersama, suatu saat kita duduk bersama lalu kita bersama-sama.
Puncak perjuangan kita adalah tegaknya syari’at Allah di negeri yang kita cintai ini dan tegaknya khilafah Islamiyah.
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
(Ukasyah/arrahmah.com)
Jazakumullah, al ‘ulama al ahibbaa’ fillah..
Arifin mohon maaf lahir batin.
Ikhwah fillah
Persoalan terbesar bagi umat Islam saat ini yang mengalami kekalahan di semua lini, politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, bahkan semua aspek kehidupan karena umat Islam telah meninggalkan Islam, meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah, dan sampai puncaknya adalah krisis ukhuwah. Bukan hanya bagi umat Islam, bahkan bagi ulamanya sendiri.
Ikhwah fillah
Kenapa kita tidak punya haibah? prestise di dunia, di negeri sendiri? Pada lingkungan kita sendiri kita tidak punya haibah, karena kita tidak punya al-quwwah, kekuatan. Kenapa tidak punya al-quwwah? karena tidak punya wahdah, kita sejujurnya belum bersatu, tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta… (Al-Hasyr, 59: 14)
Kesannya saja, retorikanya kita bersatu, sebenarnya kita masih ingin eksis dengan jati diri masing-masing, mazhab masing-masing, pendapat, kelompok, organisasi masing-masing.
Kenapa kita gak punya wahdah? ya… karena kita mengalami yang disebut dengan ukhuwah, saling cinta karena Allah, saling tolong karena Allah, saling menghargai karena Allah, saling mendo’akan karena Allah, saling mendukung karena Allah, saling menutupi aib karena Allah.
Kadang tidak perlu duduk bersama, tapi hati bersama itu jauh lebih utama. Dan tentu jauh lebih afdhal duduk bersama dan hati kita bersama seperti shaf shalat berjama’ah.
Nah… kenapa tidak mengalami kekuatan ukhuwah itu? karena kita mengalami krisis iman. Allah, ridha-Nya, rahmat-Nya, ampunan-Nya, hidayah-Nya, berkah-Nya, Rasul-Nya, akhirat-Nya bukan menjadi tujuan dan orientasi dalam setiap aktifitas kita.
Maaf, mungkin ini terlalu kasar… Bahasanya agama, tapi hatinya dunia,
…وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ…
(Ali ‘Imran, 3: 152)Kelumpuhan terjadi bagi umat Islam dan terutama para juru dakwah adalah karena mereka lebih melihat ghanimah ketimbang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ikhwah…
Kalau Allah dan Rasul dan akhirat menjadi tujuan dan orientasi dalam setiap harakah dakwah kita, maka kita akan mengedepankan, mengutamakan dakwah, itu yang menjadi skala prioritas, main goal, dalam semua aktifitas kita, dakwah, dakwah, dakwah, tanpa diundangpun dakwah. Kita menunggu undangan, baru dakwah.
Ulama yang terbaik itu ulama air hujan, yang menghujani siapa pun, minimal ulama mata air yang orang datang rindu kepadanya. Jangan jadi air pam, air pam itu kalau gak diundang, gak keluar dia, kalau gak dibayar gak keluar dia, gak tsiqah dalam dakwah, memilah milih dalam dakwah, akhirnya retorika-retorika saja, intinya dia mencari duit.
Ini ngamen ya ikhwah, atau menjadi juru dakwah air comberan, munafik, dia berbuat maksiat.
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
(Ash-Shaff, 61: 3)Nah… dakwah kita utamakan, kita berkumpul karena kita mengutamakan dakwah, kita bisa bersama karena mengutamakan dakwah. Jadi benang tasbih walaupun bijiannya warna warni, kalau benangnya adalah dakwah, kita akan bisa bersama ya ikhwah.
Islam bisa berkembang karena dakwah, Rasul menyebarkan dakwah, lalu dilanjutkan para sahabat. Sahabat wafat, dilanjutkan tabi’ut tabiin, lalu salafus shalih. Dan kita bisa begini pun karena dakwah, maka dakwahlah utamakan.
Dimulai dakwah pada diri sendiri, fardiyah, ahliyah, keluarga kita, lalu sahabat-sahabat kita, lalu khususiah orang-orang penting, lalu ijtima’iyah, tabligh, ta’lim, kemudian ‘umumiyah, siapapun didakwahi tanpa merasa paling suci.
Kemudian kalau dakwah yang menjadi prioritas, maka yang kedua adalah ukhuwah. Nah… buahnya dari orientasi dakwah itu ukhuwah. Banyak kita berbeda paham dengan kawan-kawan.
Misalnya Arifin, ada yang membid’ahkan zikir, Arifin sayang kepada kawan-kawan yang membid’ahkan zikir. Tidak ada masalah, tidak penting perbedaan itu, yang penting ukhuwahnya, yang penting dakwahnya.
Hanya karena perbedaan qunut… Ndak penting perbedaan itu, yang penting dakwahnya, ukhuwahnya, ndak penting zikir berjama’ah itu, yang penting ummat itu bertaubat dan sebagainya, itu yang penting.
Jadi hal-hal yang kecil yang masih persoalan furu’iyah bukan ushuliyah, kecuali yang sudah difatwakan jelas, bayan, clear, oleh Majelis Ulama Indonesia. Ada yang kita bersama, ada yang tidak bisa kita bersama.
Kemudian yang ketiga.. kalau sudah dakwah yang menjadi prioritas maka ukhuwah. Kalau “iyyaka na’budu wa iyyaka nast’ain” kalau Allah menjadi tujuan kita “na’budu”, kami beribadah bersama, kami mohon pertolongan kepada Allah, kami.. bukan aku.. kami… ‘aku’, ‘kamu’.. lebur menjadi ‘kami’. “shaffan ka annahum bunyaanun marshush” (Ash-Shaff, 61: 4).
Nah, kemudian yang ketiga: maslahah. Kalau sudah ukhuwah, maka ke-maslahah-nya yang dikedepankan. Maslahahnya apa?
Kita di samping masjid Az-Zikra ada mushalla yang berbeda, yang mereka tidak sependapat dengan speaker (aspek) anti-speaker. Mushallanya hancur, bocor, kita bangunkan. Subhanallah… gak ada masalah speaker nggak speaker, maslahahnya untuk ummat biar bisa shalat di mushalla itu. Ya… Allah… ini kemaslahahan yang harus dikedepankan setelah ukhuwah dan prioritas dakwah.
Maka Arifin bahagia sekali, walaupun keadaan hanya bisa melewati ini, tapi Arifin menyayangi semua, ayah, ikhwah fillah, kawan-kawan, juru-juru dakwah.
Ini saatnya bukan lagi retorika-retorikaan, bukan main-main lagi dakwah, bukan lagi eksis-eksis sendirian lagi, ndak perlu lagilah dengan ge-er dengan pujian, ndak perlu lagi sakit hati dengan hinaan.
Saatnya kita menjadi teladan bagi ummat, jadi mata air, jadi cahaya, apa yang di hati itu yang difikirkan, apa yang difikirkan itu yang diucapkan, apa yang diucapkan itu diamalkan, istiqamah, tsiqah, lahir batin ta’at kepada Allah jalla jalaluhu, figur teladan bagi ummat, tidak main-main, tidak lagi menjual-jual, main-main kata, penuh dengan gaya-gaya.
Tidak perlu lagi takut dengan caci maki, hinaan, gosip. Dakwah liyuhiqqal haqqa wayubthilal bathila walau karihal mujrimun… (Al-Anfaal, 8: 8). Keniscayaan akan dicaci maki oleh orang mujrimun itu.
Fitnah itu memang menyakitkan, kotoran, tapi bagi orang beriman dia bisa olah menjadi pupuk yang menyenangkan, pupuk yang menyuburkan keimanannya.
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
(Al Furqan, 25: 63)Ketahuilah ya ikhwah, yang paling pantas berdakwah itu siapa? Hamba Allah yang istiqamah, yang tidak main-main dengan kata-katanya, bukannya surat Fushshilat (menerangkan),
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا…
(Fushshilat, 41: 30)Lihat setelah itu,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
(Fushshilat, 41: 33)Mereka yang istiqamah lalu mereka berdakwah,
Ikhwah, al lughah al madzuqah, bahasa itu rasa, ummat itu bisa merasakan mana main-main kata, mana yang serius dalam berdakwah, mana yang istiqamah, mana yang dalam setiap kata-katanya yang benar-benar tulus mencintai ummat.
Maaf ikhwah, kalau Arifin menyampaikan ini. Inilah keadaan sekarang, mudah-mudahan Arifin dan semua ikhwah, Allah bersamakan dalam ridha-Nya, dalam rahmat-Nya, dalam ampunan-Nya, dan hidayah-Nya, dalam berkah-Nya, dalam harakah dakwah-Nya. Kita bersama walaupun tidak harus duduk kita bersama, suatu saat kita duduk bersama lalu kita bersama-sama.
Puncak perjuangan kita adalah tegaknya syari’at Allah di negeri yang kita cintai ini dan tegaknya khilafah Islamiyah.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتْوبُ إِلَيْكَ
Banyak salah Arifin, uhibbukum fillah.Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
(Ukasyah/arrahmah.com)